Usman Hamid / KontraS
Makalah dalam diskusi buku “Maluku Kobaran Cintaku” karya Ratna Sarumpaet, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 11 Maret 2011.
Sejak dulu, saya mengamati dan mengenal Ratna Sarumpaet sebagai seniman multi talenta. Ia tak saja menempatkan seni sebagai medium kebudayaan an sich, tapi juga berhasil “membunyikan” seni dalam dialog lintas pemahaman kita. Kemampuan Ratna untuk membaca politik kebudayaan Indonesia, sudah bisa kita nikmati dari sederet karyanya. Sebut saja judul-judul seperti Rubayat Umar Khayam, Dara Muning, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah, Pesta Terakhir, Terpasung, Marsinah Menggugat, Alia, Luka Serambi Mekkah, Anak-Anak Kegelapan dan yang terakhir Jamila & Sang Presiden.
Sejak dulu, saya mengamati dan mengenal Ratna Sarumpaet sebagai seniman multi talenta. Ia tak saja menempatkan seni sebagai medium kebudayaan an sich, tapi juga berhasil “membunyikan” seni dalam dialog lintas pemahaman kita. Kemampuan Ratna untuk membaca politik kebudayaan Indonesia, sudah bisa kita nikmati dari sederet karyanya. Sebut saja judul-judul seperti Rubayat Umar Khayam, Dara Muning, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah, Pesta Terakhir, Terpasung, Marsinah Menggugat, Alia, Luka Serambi Mekkah, Anak-Anak Kegelapan dan yang terakhir Jamila & Sang Presiden.
Produktivitas kebudayaan ini adalah sebuah pembuktian, totalitas pikiran dan tindakan Ratna yang menegaskan bahwa dunia seni dan kebudayaan adalah dunia yang memiliki pertautan erat dengan kehidupan warga Indonesia sehari-hari. Dunia yang tidak terkotak-kotak, tidak tersegregasi, namun saling mengisi dan menghidupi. Melalui politik kebudayaan semacam inilah, mungkin kita bisa memahami makna keindonesiaan secara lebih jujur.