Kartini
Kartini dilahirkan di Rembang Jawa Tengah se abad lalu, tumbuh di tengah keluarga bangsawan yang dengan ketat memegang budaya feodalisme Jawa, yang telah dengan serta merta mengungkung seluruh pertumbuhan dan kemerdekaannya sebagai perempuan. Dari kehidupan seperti itulah Kartini tumbuh sebagai perempuan kritis. Dia tidak hanya bersedih menerima nasibnya dan nasib kaumnya. Dimulai di tengah keluarganya sendiri ia dengan dengan tegas menolak menggunakan fasilitas-fasilitas kebangsawanannya. Ia tidak mau memakai payung emas meski itu haknya. Dia tidak mau disembah adik-adiknya. Perkawinannya dengan seorang Bupati, yang oleh berbagai pihak dicemooh dan dinilai sebagai “terjebak”, sebenarnya merupakan akibat dari kurangnya catatan sejarah tentang perkawinannya ini.
Surat-surat yang ditulisnya pada periode itu tidak pernah kita baca, atau mungkin dengan sengaja telah dilenyapkan? Namun, apapun alasan yang membuat perkawinan itu ada, perkawinan itu tidak menghentikan/menghambatnya memperjuangkan cita-citanya. Dia bahkan memanfaatkan cinta serta fasilitas yang dimiliki suaminya sebagai seorang Bupati untuk tetap bisa mewujudkan cita-citanya membela kaum perempuan, untuk hal mana ia layak dihormati dan patut dicontoh. Di usia yang sangat muda, 22 tahun, seabad lebih yang lalu, Kartini telah mampu menulis untuk sebuah koran Belanda “Lokomotif”. Dia memiliki kesadaran membaca yang tinggi. Dia menulis dan dia berinteraksi dengan pikiran-pikiran yang lengkap. Pikiran-pikiranlah yang menjadi dasar pemikiran dari Kongres Wanita I Indonesia. Dia mampu berbicara tentang masalah-masalah diluar masalah perempuan, seperti rasialisme, politik, dan lainnya. Dialah satu-satunya perempuan di-eranya yang punya keberanian menulis petisi yang ditujukan pada pemerintah Belanda, dan didengar. Kalau sekarang kita masih harus mempertanyakan peran perempuan di bidang politik, seratus abad lebih yang lalu Kartini justru sudah melakukan itu. Seorang budayawan besar Indonesia Pramudya Ananta Toer mengatakan “ She is the first modern thinker in Indonesia. Jalan Terjal, Kaum Perempuan.
Hanya ada dua pengalaman yang benar-benar dirasakan perempuan secara universal. Satu, Pengalaman saat melahirkan dan membesarkan anak. Dua, Pengalaman dalam menghadapi ketakutan akan kekerasan, (fisik, maupun non-fisik). Sebenarnya, kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal baru. Sudah berabad-abad perempuan diperlakukan dengan kasar, dianggap tidak berguna, dianggap inverior di mata keluarga, di mata kekasih, masyarakat, termasuk di mata suaminya. Interpretasi Agama paling banyak dijadikan alat untuk menolak gagasan emansipasi dan ikut melanggengkan berlangsungnya kekerasan terhadap perempuan. Tuhan dan kitab suci di interpretasi sedemikian rupa seolah memihak laki-laki dan perempuan digambarkan sebagai the second creation dan selanjutnya diperlakukan sebagai the second sex.
Pemahaman yang dengan sengaja dibelokkan itu selanjutnya dikembangkan dengan politik antropologi yang kemudian berhasil melanggengkan tradisi patriaki. Pola relasi gender seperti itu mengendap sedemikian rupa di alam bawah sadar masyarakat, yang kemudian menerimanya sebagai kodrat. Agama/Tuhan bagaimanapun memang sangat ampuh untuk di cekokkan kedalam benak dan pemahaman manusia. Ditelan, dicerna dan menjadi mendarah daging. Mereka yang melawan perjuangan kesetaraan gender, memakai kodrat sebagai propaganda dengan memandang kodrat dari sudut pandang melemahkan. Sudut pandang itu adalah sudut padang yang sengaja dikelirukan dalam menginterpretasi kodrat perempuan, untuk mengabaikan kedudukan perempuan yang sesungguhnya, yakni sebagai pemegang andil utama dalam memanusiakan manusia (Laki-laki & Perempuan). Sebelum seorang anak lahir, selama sembilan bulan pertumbuhannya - rahim seorang perempuanlah tempat sang jabang bayi dilindungi. Ketika jabang bayi dilahirkan ke dunia perempuanlah yang bertarung melawan maut, mengalahkan rasa sakit yang taranya sulit ditemukan. Ketika anak lahir ke bumi - tanpa pengetahuan tentang dunia yang dimasukinya, tentang kekerasan, pertikaian, kemunafikan, intrik, tidak tahu bagaimana mengekspresikan rasa sakit, rasa lapar dan rasa takut, tidak tahu bagaimana ia harus berkomunikasi bahkan dengan lingkungan terkecil di sekitarnya, seorang Ibu, perempuan, lagi-lagi bertugas menjawab seluruh ketidak tahuan itu Perempuanlah yang menyusui, memandikan, menjaga dan membesarkan anak-anaknya. Perempuanlah yang menangis ketika mereka sakit, yang meradang ketika ia tidak punya uang untuk memberi makan atau menyekolahkan anak-anaknya. Di atas semua itu, Ibu, perempuan adalah yang memberi anak-anaknya kehidupan non fisik, memberi anak-anaknya pemahaman tentang nilai, tentang akal budi, sopan santun dan ahlak yang baik.
Artinya, perempuan (bukan laki-laki) adalah yang dipilih Allah memegang amanah memanusiakan manusia (laki-laki/perempuan), melahirkan anak-anak yang sehat, yang cerdas dan berahlak dan bagi sebuah Bangsa, perempaun dengan kualitas anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkannya adalah kunci apakah kedepan bangsa ini akan lebih baik-atau tidak. Itu sekaligus bukti, betapa di mata Allah, perempuan memiliki kedudukan khusus, kedudukan yang tidak mungkin dimiliki kaum laki-laki, sekaligus pemicu betapa perjuangan kesetaraan gender tidak akan pernah menjadi perjuangan yang mudah. Itu sebab perempuan wajib mendapatkan pendidikan dan memiliki cita-cita tinggi. Untuk bisa mendidik dan membesarkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang baik dan cerdas dibutuhkan Ibu yang baik, yang kuat sekaligus cerdas. Bahkan kalau sewaktu-waktu oleh satu dan lain hal seorang suami tidak mampu memenuhi nafkah dan pendidikan anak-anaknya, seorang Ibu dituntut untuk terjun membantu suaminya. Karena di mata Allah, manusia (perempuan dan laki-laki) adalah sama. Di hadapan Negara, setiap warga Negara (laki-laki atau perempuan) memiliki hak, kewajiban dan tanggung-jawab yang sama. Jadi meski kodrati Tuhan memberi perempuan beban/tanggung jawab lebih ketimbang laki-laki, perempuan tetap punya hak yang sama untuk merebut apa yang menjadi impiannya, dan ikhlas menerima fakta betapa pertarungan mereka akan jauh lebih panjang dan terjal ketimbang pertarungan laki-laki.
Marsinah.
Selapan belas tahun lalu di Jawa Timur, seorang buruh perempuan, Marsinah, dianiaya, diperkosa lalu dibunuh dengan keji. Kita tahu siapa yang membunuh Marsinah dan tahu kenapa ia dibunuh. Marsinah adalah seorang buruh kecil yang bekerja keras ingin mengubah nasibnya. Sebuah kebutuhan sederhana seorang anak manusia. Tapi itulah yang berlaku saat itu. Keserakahan boleh terus berlangsung. Pemilik modal boleh terus-menerus menghimpun kekayaan. Namun seorang buruh kecil, perempuan, berani membuka mulut menuntut kenaikan upah, nyawanya akan terenggut.Pembantaian atas Marsinah menandai dua jenis agresi sekaligus. Satu, agresi terhadapnya sebagai buruh kecil dan kedua, agresi terhadapnya sebagai perempuan. Bagaimanapun, Marsinah adalah martir bagi perjuangan menghentikan kekerasan terhadap kaum perempuan. Marsinah telah memberikan pengorbanan terbesar yang dapat dipersembahkan anak manusia untuk itu, yakni nyawanya sendiri. Itu sebab, apabila kita menghormati Marsinah, kita juga telah menghormati seorang korban, seorang yang dianiaya di kalangan kaum perempuan. Pembantaian itu sekaligus mencatat bagaimana sebuah rezim, menciptakan sebuah lingkungan budaya yang memuja kelaki-lakian dan meletakkan posisi perempuan selalu berada pada posisi tersudut, rawan dan rapuh.
Dalam kasus pembantaian Marsinah kita menemukan berbagai simbol yang melekat pada keberadaan perempuan. RAHIM simbol perempuan sebagai pemberi keturunan, pemberi kehidupan serta jaminan regenerasi yang seharusnya dihormati setinggi-tingginya. KEBISUAN simbol perempuan Indonesia yang ditempa untuk harus mendengar, bukan untuk didengar. KEPATUHAN, simbol yang secara budaya telah ditanamkan betapa perempuan harus selalu manis, patuh dan lemah lembut.
Begitulah para orang tua dari waktu-kewaktu menempa anak perempuan mereka, yakni menjadi pendamping yang manis dan patuh bagi suaminya kelak. Budaya kepatuhan ini di masa Orba dengan sistematis disempurnakan dengan menjadikan KEPATUHAN sebagai sebuah PAHAM yang harus dianut setiap warga Negara (tidak hanya perempuan). Yang melanggarnya akan dituding sebagai pengganggu stabilitas Nasional dan MEMALUKAN. Cara-cara itu adalah cara membungkam masyarakat dari kemampuan dan hak-hak kritisnya. Dengan memanfaatkan budaya budi luhur, halus, jangan bersuara keras, hak dan kewajiban masyarakat untuk mengatakan yang benar itu benar yang salah itu salah - terampas. Dan karena perempuan dilapisan sebelumnya saja sudah dituntut untuk halus pada lawan jenisnya (belum pada Negara) maka ketika MARSINAH dengan lantang melawan diluar rumahnya, dia jadi dianggap berbahaya karena telah berani melanggar berlapis PAHAM KEPATUHAN tadi. Kecerdasan – keberanian dan kegigihan Marsinah dalam memperjuangkan hak-hak buruh di Sidoarjo 1993, bagi Pemerintah sebagai representasi karakter maskulin adalah ancaman membahayakan. Dosa pada kodratnya yang seharusnya patuh dan lemah lembut. Itu sebab Marsinah harus disingkirkan dan menyingkirkannya tidak cukup hanya dengan dipecat dari perusahaan, tapi dibunuh. Membunuhnyapun tidak cukup dengan meracuninya misalnya. Dia harus lebih dulu dianiaya, diperkosa, rahimnya diremuk-remukkan dan kemaluannya ditembak dengan senjata api.
Perlawanan Yang Mendua
Sebuah bangsa besar - menghormati kaum perempuan. Ini bukan slogan gender, tapi keniscayaan. Karena kaum inilah yang memiliki rahim, yang memiliki air susu dan cinta, dari siapa akan dilahirkan generasi penerus yang sehat, yang cerdas-cerdas, yang memiliki cinta dan memahami makna kehidupan, kepada siapa bangsa ini kelak akan dipercayakan. Meski saat ini Indonesia sudah berada di era yang sudah jauh lebih baik, dan kita sudah sering menyaksikan betapa perempuan yang lebih cerdas dan lebih menonjol ketimbang laki-laki bermunculan secara mencengangkan, perempuan Indonesia masih menghadapi berlapis-lapis persoalan. Mereka masih terus dihadapkan pada budaya dan aturan-aturan diskriminatif untuk memperoleh kesempatan/peluang (ekonomi, politik, sosial dan budaya). Mereka masih berhadapan dengan KDRT, pelecehan seks, perdagangan anak, pelacuran, poligami, dll. Semua itu berdampak pada bagaimana kita menyediakan alam yang ramah dan aman bagi pertumbuhan anak-anak Indonesia kedepan. Jadi kalau Indonesia melihat dengan cerdas kaitan antara persoalan-persoalan perempuan dan pembangunan bangsa, Indonesia menempatkan Upaya Pemberdayaan Perempuan di urutan prioritas, baik dalam hal pendidikan, kesehatan, dan kesempatan.
“Menyebut perempuan lemah, emosional dan tidak rasional” adalah label yang selama ini dipakai sebagai alat pembenaran menyisihkan perempuan dari arena hak kesetaraan, dan itu ampuh. Dengan label itulah nuansa maskulin bisa bebas mendominasi kehidupan kita dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Kita menyaksikan kaum perempuan bertarung memperjuangkan peruabahan namun tidak mudah. Perjuangan perempuan melawan dunia yang maskulin sarat hambatan tidak semata-mata karena kaum lelaki sangat bersikukuh mempertahankannya, tapi karena kaum perempuan sendiri masih memiliki persoalan-persoalan di dalam dirinya.
Umumnya perempuan, termasuk mereka yang sudah terjun dalam perjuangan emansipasi masih memiliki sikap mendua dan BIAS. Masih banyak kaum perempuan termasuk mereka yang sudah berpendidikan bahkan sudah jadi pesohor mendukung poligami misalnya, ikut mempropagandakan poligami sebagai bagian dari ahlak. Mereka lupa betapa anak-anak yang lahir dari perkawinan poligami punya peluang besar menjadi anak-anak yang tidak bahagia dan tidak percaya diri dan anak-anak yang tumbuh dalam situasi seperti itu akan kehilangan peluang menjadi anak-anak yang berhasil. Mereka lupa bahwa disamping menjadi isteri yang baik bagi suaminya, tanggungjawab perempuan yang merupakan keputusan langsung dari Allah, adalah melindungi dan memberangkatkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang baik, yang gembira, cerdas dan berahlak. SIKAP MENDUA seperti ini, adalah kelemahan yang membuat perlawanan kaum perempuan menjadi perlawanan yang bias dan jadi berlari ditempat. SIKAP MENDUA ini juga lah yang membuat kita menerima saja istilah “Domestic Violation” atas penganiayaan yang sering terjadi pada isteri, kawan, bawahan. Berlindung dibalik istilah “Domestic Violation” kita secara tidak langsung telah membiarkan jenis penganiayaan seperti ini sebagai persoalan yang tidak layak dipersoalkan pihak luar atau sebagai “mencampuri urusan rumah tangga orang” dan tidak sopan. Hal yang membuat kita kehilangan spontanitas dalam membela atau memberikan empaty pada seseorang (utamanya perempuan) yang dianiaya disekitar kita atau bahkan didepan mata kita.
Dalam situasi sekarang, kita bersyukur pada Allah, meski masih terus diliputi belenggu khas gender, puluhan juta kaum perempuan Indonesia sudah berkiprah bebas di ranah publik, menjadi buruh, politisi, supir taxi, Guru Besar, Penata Rambut atau pakaian, Doktor, PhD, saya ingin menyerukan agar kedepan, kita terus memusatkan perhatian kita pada mereka yang belum beruntung dan pada anak-anak gadis kita yang pada masanya akan menghadapi realitasnya sebagai perempuan Indonesia. Mari kita perjuangkan perubahan dengan gerakan kebudayaan, gerakan yang kita mulai dari rumah-rumah. Kita ajak mereka menghargai kedudukannya sebagai perempuan; Memaknai kebangkitan perempuan sebagai kebangkitan manusia-manusia yang diempukan, sebagai empu kehidupan. Menjalankan tanggung jawabnya “memanusiakan manusia”, dengan ikhlas. Mendudukkan dan membesarkan anak-anak kita menjadi anak-anak yang punya empaty, kaya akan rasa keadilan, dan memahami dengan benar makna kebenaran yang sesungguhnya kebenaran.
Penutup.
Awal Februari 2011, ketika saya berada di Belanda seseorang mempercayakan pada saya sebuah video dokumenter, “Inside Indonesia’s War On Terror”. Video itu menjelaskan bahwa terror & kerusuhan antar Agama di Indonesia yang selama ini kita kira ulah Kelompok Garis Keras, ternyata mayoritas direkayasa dan disponsori Negera. Awalnya, saya ragu memaparkan isi video ini ke permukaan. Tapi menyembunyikan isi video ini dari mata rakyat saya merasa menodai moral dan tata nilai yang saya pahami. Saya merasa berhianat pada Rakyat terutama karena apa yang digambarkan dalam video “Inside Indonesia's War on Terror” adalah tentang rakyat Indonesia. Tentang kehidupan mereka, identitas dan harkat mereka, keluarga mereka yang hilang, yang mati terbunuh, tentang trauma yang tak terobati. Bukan sekedar masalah korupsi berjamaah seperti kasus Century. Tapi sebuah penghianatan terhadap bangsa dan rakyat. Sebuah upaya mencabik-cabik dasar Negara, merusak budaya, mengadu domba rakyat antar Agama, menanamkan rasa takut selama bertahun-tahun dan merenggut belasan ribu nyawa manusia. Tanggal 18 April lalu saya bersama Nia Dinata, Musdah Mulia, Rieke D. Pitaloka dan Ester Jusuf memutar Video dimaksud di Kine Forum, TIM. Dihadiri puluhan wartawan, tokoh-tokoh Agama, Praktisi Hukum, Aktivis, Intelektual dan Budayawan, pemutaran video dilanjutkan dengan Press Conference. Para tokoh memberikan statement keras. Namun sampai hari ini tidak ada pemberitaan tentang statement mereka bahkan atau tentang isi video yang kita saksikan sore itu, kecuali artikel di dua media online, artikel kecil di sudut Kompas, sebuah artikel di Jakarta Post dan penanyangan di Aljazira. Meski isi “Inside Indonesia's War on Terror” tidak bisa buru-buru disebut sebagai kebenaran mutlak secara penuh, namun apa yang digambarkan di dalamnya, pernyataan, pengakuan, analisis, termasuk ceritera Dai Bachtiar (Kapolri saat itu) tentang dana asing yang mengalir deras, isi video itu layak dijadikan sebagai bukti awal dugaan terjadinya kejahatan Negara terhadap rakyat.
Apakah Pemerintah telah membungkam media atau media membungkam dirinya dan lebih suka menyiarkan berita Terror versi Negara, itu urusan dan tanggung jawab mereka. Persoalan kita (kaum perempuan) hari ini adalah terus membuka mata Rakyat, terus mencerdaskan dan melindungi mereka. Kartini sudah melakukan apa yang harus dilakukannya di masanya, seabad lalu. Marsinah sudah mengorbankan nyawanya demi demokrasi di republik ini. Sekarang, adalah tugas kita melawan yang yang tidak layak terjadi terutama ketika itu menyangkut rasa aman, identitas dan nyawa rakyat Indonesia, nyawa yang lahir dari rahim kaum perempuan Negeri ini …..
Ratna Sarumpaet, 21 April 2011.
No comments:
Post a Comment