About Us


     Ratna Sarumpaet, Founder, Director
     Playwright  & Stage Director 

Sempat menempuh kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas  Hukum UKI, Ratna memilih kesenian sebagai alat perjuangannya. Keberpihakannya pada orang-orang kecil dan marginal menjadi tema setiap karya yang dilahirkannya yang mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan penguasa. Dalam lima belas tahun terakhir, di tengah kesibukannya sebagai aktivis HAM dan kemanusiaan, Ratna telah menghasilkan sembilan naskah drama, yang membuatnya dikenal di seantero jagat dan seluruh naskah itu ditulis berdasarkan kegelisahannya menghadapi kekuasaan yang cenderung menindas kaum kecil, dan kelompok minoritas.   
Rubayat Umar Khayam (1974)
Dara Muning (1993),
Marsinah, Nyanyian Dari Bawah Tanah (1994),
Terpasung (1995),
Pesta Terakhir (1996),
Marsinah Menggugat (1997),
ALIA, Luka serambi Mekah (2000),
Anak-anak Kegelapan (2003)
Jamila & Sang Presiden (2006)
(Semua naskahnya disutradarainya sendiri dan diproduksi / dipentaskan kelompok drama Satu Merah Panggung, yang didirikannya 1974.)
Marsinah & Indonesian Women.
Tahun 1993, adalah masa Ratna mengubah visi keseniannya menjadi alat perjuangan mempermasalahkan semua pelanggaran yang berkaitan dengan kemanusiaan. Membaca di sebuah media tentang Marsinah, buruh kecil yang ditemukan terbunuh di hutan jati di Madiun, dia langsung bergerak melakukan penelitian. Hasil penelitiannya itu dituangkannya pada sebuah naskah drama berjudul 'MARSINAH, Nyanyian Dari Bawah Tanah' (A Song From The Underworld". Drama ini dipentaskan di Jakarta, Solo dan Bandung. Pada  Hari Human Rights 10 Desember 1994 drama ini sedianya akan dipentaskan di Teater Arena TIM, tapi 2 hari sebelum D day, pihak sponsor (YLBHI) mendadak membatalkannya sepihak. Naskah ini sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Bentang Budaya.  


Ketika September 1997 Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan dalih DNA korban terkontaminasi, Ratna sadar Negara sedang berusaha membungkam rakyat Indonesia mempersoalkan nasib buruh kecil dari Sidoarjo itu. Dalam waktu sangat singkat ia melahirkan karya monolog Marsinah Menggugat dan mengusungnya dalam sebuah tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera. (Jakarta, Bandung, Jember, Malang, Tegal, Tasikmalaya, Jogya, Solo, Surabaya, Padang dan Bandar Lampung) 



Dianggap sebagai karya provokatif, di setiap kota yang mereka datangi, Ratna dan timnya terus mendapat tekanan dari pihak aparat. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif. Sekitar seribu pasukan anti huru-hara dilengkapi senjata dan tank. Pencekalan ini merupakan pencekalan kesenian terburuk sepanjang sejarah modern Indonesia.






 Human Rights & Democracy
Lelah menjadi obyek intimidasi aparat, akhir 1997 Ratna memutuskan melakukan perlawanan. Ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga. Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat. 

Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justeru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini kemudian dikepung oleh bertruk-truk aparat dari semua angkatan  dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan tuduhan berlapis, salah satunya, makar. 


 
Sesaat setelah Ratna ditangkap, Edmund William, Atase Politik Amerika di Indonesia waktu itu mengatakan dihadapan para wartawan, “Perempuan ini memberikan  nyawanya untuk perubahan. Kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah”.  Hal yang sama di saat yang sama juga diucapkan Faisal Basri “Kita kehilangan seseorang yang mau memasang badannya untuk demokrasi”.



 Seorang sahabat mencuri foto Ratna saat besuk 
dan Ratna berdiri di balik jeruji. 
Bersama kawan-kawannya Ratna kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Sepuluh hari terakhir ia ditahan di LP Pondok Bambu. Keberadaan Ratna di LP tersebut membuat penjagaan disana jadi super ketat. Gerakan mahasiswa dan rakyat mengepung LP Pondok Bambu mendesak agar Ratna dibebaskan dan tuntutan agar  Suharto turun terus memuncak. Ratna sempat sakit dan dirawat di MMC. Kesempatan itu dia manfaatkan bertemu kawan-kawannya untuk meneruskan perundingan - perundingan. 



Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan. Dia yang ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan berlapis tiba-tiba dibebaskan dengan tuduhan aneh, ‘seperti copet sayur’ kata Ratna. Tapi Ratna tidak kecil hati. Dari Penjara Pondok Bambu ia langsung ke senayan, dan memberikan pidato di hadapan ribuan mahasiswa dan rakyat yang masih berkumpul disana.


   
After Suharto Era 
Setelah Suharto lengser, Ratna Sarumpaet tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan Blue Print Pengelolaan Negara RI. Blue Print itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu.



Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam  Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer tertentu  melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.

Human Rights & Democracy
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk. Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presidennya dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Dalai Lama dan Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras negara-negara besar seperti USA, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.


Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima 
“The Female Special Award for Human Rights” dari The Fondation of Human Rights in Asia. 

Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh  akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA, Luka Serambi Mekah.
Ratna dikenal sangat tegas menolak terlibat dalam politik praktis, namun sejarah mencatat bagaimana sepak terjangnya baik sebagai aktivis maupun sebagai seniman/budayawan  selalu dilandasi kesadaran sebagai warga negara yang baik dan sikap politik yang kuat. Ia ikut menggagas dan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) hingga partai ini resmi dideklarasikan di Istora Senayan. Setelah pemerintahan Habibie berakhir, dan digantikan tokoh reformasi, Ratna memilih lebih menahan diri dan memberi kesempatan. Saat konflik di wilayah Cot Trieng bergolak dan menjadi berita Ratna terbang ke Aceh, langsung ke Cot Trieng dan mengunjungi para pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah di Aceh. Dia menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak di mana ribuan tulang-belulang Rakyat Aceh terkubur dan menangis di sana. Ketika gagasan menetapkan Aceh sebagai Darurat Militer mencuat dan menjadi pembahasan panas di DPR, Ratna menyurati Presiden saat itu. Ia  memohon agar konflik di Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Ratna yakin sebagai perempuan sang Presiden akan menyelesaikan konflik di Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi.  Sayang Darurat Militer justeru ditetapkan dan 50 ribu tentara bahkan sudah diberangkatkan jauh sebelum Darurat Militer ditetapkan. 


Culture & Pluralism.  
Ratna akan melakukan apapun untuk keadilan, kemanusiaan dan kebenaran 
tanpa rasa takut, termasuk ketakutan ‘dimusuhi orang’.

Ketika tahun 2006 RUU APP (Rancangan Undang Undang  Anti Pornografi dan Pornoaksi) mencuat, penolakan Ratna kembali membuatnya menjadi berita. Ratna menolak RUU itu karena dianggapnya berpotensi besar membunuh keberagaman budaya, melanggar filosofi bangsanya dan menyudutkan kelompok agama minoritas di Indonesia. Bersama kawan-kawannya, Franky Sahilatua, Nia Syaffrudin, Yenny Rosa, Rieke Diah Pitaloka, dll, sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, ia menggerakkan masyarakat menggelar Pawai Budaya menolak RUU dimaksud.




Penolakan dan kangkah-langkah terhadap RUU APP membuatnya dimusuhi kaum fumdamentalis Islam. Ia didemo, diusir dari Jakarta dan dituduh sebagai penikmat pornografi. Namun Ratna dengan sabar menjelaskan apa alasan keberatannya. Ia menolak pola pembangunan moral mekanis yang dianggapnya tidak menghormati manusia sebagai mahluk yang memiliki akal budi dan punya hati.
Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah ‘Talk Show’ di sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif urusan demokrasi ini memutuskan mundur.

Uderage Sex / Child Trafficking.  
Tahun 2004 Ratna secara kebetulan mendengar kabar tentang buruknya perdagangan anak di Indonesia. Selama tahun 2005, dengan bantuan UNICEF Ratna melakukan penelitian tentang berita itu, mengunjungi enam provinsi di Indonesia untuk menguji dan mengetahui kebenaran berita itu dan mengetahui apa sebab di Indonesia perdagangan manusia sedemikian marak.

Dari hasil penelitian itu, 2006 Ratna menulis naskah Drama “Pelacur dan Sang Presiden” dan dipentaskan di lima kota besar di Indonesia. Perhatian publik pada pementasan ini memberi Ratna kesadaran, untuk melawan jenis perdagangan ini ia harus melancarkan kampanye besar dan pementasan drama tidak cukup memadai sebagai media kampanye.

Tahun 2007 Ratna menyadur “Pelacur & Sang Presiden” ke dalam scenario film. 2008 – 2009 dia memperjuangan scenarionya itu bisa diwujudkan dalam film layar lebar dan berhasil. Dia menyutradarai sendiri film tersebut dan diberi judul “Jamila & Sang Presiden”. Jamila & Sang Presiden berhasil mendapat perhatian dunia di berbagai Festival. Bangkok International Film Festival, Hongkong International Film Festival, Asia Pacific Film Festival, Vesoul Asian International Film Festival. Di  Asiatica Film Mediale Festival, Rome, “Jamila & Sang Presiden” berhasil memperoleh NETPAC Award, dan untuk 2010, film ini selected sebagai film yang mewakili Indonesia di Academy Award, kategori ForeignLanguage.

 Terrorism & Communal Conflict 
Setelah kesibukan menyangkut filmnya, "Jamila dan Sang Presiden" mulai reda, Ratna kembali gelisah. Tahun 2009 Ratna memutuskan melakukan pencarian untuk menjawab kegelisahannya itu. Sebuah kegelisahan yang tertunda nyaris 10 tahun itu, tentang Terror dan Kerusuhan antar Agama di Indonesia. Dia tidak pernah bisa yakin Negara bersih dalam ke dua persoalan itu yang sejak peristiwa Bom Natal 2000, seperti tidak pernah berhenti. Ia memutuskan melakukan survey dan memilih Konflik Ambon/Maluku sebagai oyeknya. 

Peluncuran di Ambon







Peluncuran Jakarta

Ratna membutuhkan 2 tahun melakukan survey dan menuliskannya. Tulisannya itu kemudian terbit dalam bentuk Novel, dengan judul Maluku Kobaran Cintaku. Novel ini pertama kali diluncurkan di Kota Ambon, di pusat konflict bertepatan dengan International Human Rights Day 10 Desember 2010. Novel ini kemudian diluncurkan di di Paska Sarjana Universitas Muhammadiyah Ternate 10 Januari 2011, di beberapa kota di Belanda awal Februari 2011, di Fikom UNPAD Bandung 24 Februari 2011, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 11 Maret 2011.



Ratna’s Works as writer and stage / film director.
Maluku Kobaran Cintaku / Maluku The Broken Paradise, 2010, Novel
Jamila and The President, FILM, 2009, Writer, Director
Jamila and The President, Play, 2006, Writer, Director
Children of Darkness, 2003, Writer, Director
ALIA The Wound of Aceh, 2000, Writer, Director, Actor
MARSINAH ACCUSESS, Monologue, 1997, Writer, Director, Actor
Pesta Terakhir / Last Celebration, 1996, Writer, Director, Actor
Terpasung, 1995, Writer, Director, Actor
MARSINAH, Song From The Underworld, 1994, Writer, Director
Dara Muning, 1993, Producer, Writer - Director
Antigone, Jean Anouilh - Batak, 1991, Director - Actor
Hamlet, Shakespeare - Bali, 1989, Director
Othello, Shakespeare, 1988, Director
Romeo and Juliet, Shakespeare - Opera, 1987, Director
Hamlet, Shakespeare - Batak, 1976, Director - Actor
Romeo and Juliet, Shakespeare, 1975, Director
Rubayat Umar Khayam, 1974 - Play - Writer, Director

A w a r d
Human Rights Special Award /The Asia Foundation For Human Rights, Tokyo, Japan (1998)
TSUNAMI AWARD (Ratna Sarumpaet Crisis Center) 2005, Aceh.
NETPAC AWARD, Asiatica Film Mediale, Rome, Jamila & Sang Presiden, 2009.
YOUTH PRIZE Vesoul International Film Festival, France, Jamila & Sang Presiden, 2010.
PUBLIC PRIZE Vesoul International Film Festival, France, Jamila & Sang Presiden, 2010
A Documentary film on me, Produced by ARTE & Amesty International 1998.
 “The Last Prisoner Of SUHARTO”  Produced by : ARTE France TV, Amnesty International
“Air Mata Untuk Porsea” – Produced By SATU MERAH PANGGUNG

Book she writes / who write about her