Tuesday, April 19, 2011

KAWIN SIRI


Ratna at Parliament against Pornography Bill
Dampak  kawin siri atas perkembangan anak dan pembangunan bangsa. 
Kawin Siri adalah perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing tetapi secara administratif tidak terdaftar di kantor yang berwenang  Dalam UU No. 1/74 pasal 2 ayat 2 tentang perkawinan sudah dikatakan bahwa tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Mereka yang melakukan perkawinan secara Islam melakukan pencatatan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan, sedangkan yang beragama lain melakukan pencatatan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan. Jadi apabila hal itu tidak dilakukan maka perkawinan dimaksud (Kawin Siri) adalah batal demi hukum.



Dalam pasal 2 ayat 1 UU yang sama (UU No. 1 tahun 1974) disebut juga bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum masing-masing agama dan kepercayaannya". Ayat ini lah yang dibuat sebagai pegangan oleh mereka yang ingin melakukan kawin siri yang dengan sengaja mengabaikan ayat berikutnya yakni ayat-2 dari pasal yang sama. Dengan sikap itu mereka menganggap sebuah perkawinan sudah memenuhi syarat dan perkawinan sudah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat karena rukun nikah atau ijab kabul sudah dilaksanakan (Islam), pendeta/pastur sudah melaksanakan pemberkatan atau ritualnya lainnya (non Islam). 

 
Itu sebab walau Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sudah diberlakukan sejak 35 tahun lalu, praktek ‘Kawin Siri’, perkawinan yang dalam undang-undang UU Perkawinan RI dinyatakan melanggar undang-undang, terus saja berlangsung. Kalau sekarang ada keinginan membuat revisi UU terutama dalam kaitannya dengan Kawin Siri, maksudnya tentu untuk mempertegas atau memperketat aturan atau sangsinya untuk mengurangi maraknya praktek Kamwin Siri.

Kita semua tahu Undang-undang No. 1/74 adalah hasil penggodokan yang sudah melibatkan unsur ulama. Pikiran dan concern Ulama dalam penggodokan itu tentu sudah mempertimbangkan persoalan-persoalan kemaslahatan ummat dan tidak melanggar substansi hukum syariat. Pendapat yang mengatakan Islam tidak mengatur pencatatan untuk perkawinan, jangan diperalat untuk mendukung sesuatau yang mudaratnya sedemikian besar. Kalau untuk urusan muamalah saja, seperti utang misalnya, Islam melakukan pencatatan, apalagi untuk urusan sepenting perkawinan yang akan bersangkutan dengan hukum-hukum lain, hak/tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak, hak waris dll.

Majelis Ulama Indonesia pun tidak pantas lagi mendukung Kawin Siri karena itu berseberangan dengan Undang-Undang Perkawinan. Kalau MUI adalah lembaga resmi di bawah Negara Republik Indonesia – MUI seharusnya tidak mengeluarkan aturan atau fatwa atau statement lepas yang bertentangan dengan aturan yang diproduksi Negara. Jangan MUI menampilkan sikap seolah mereka (ulama) berebut otoritas dengan pemerintah. Bahkan kalau ada pasangan yang merasa lebih sreg dinikahkan oleh ulama ketimbang KUA, ulama harus menolak karena Negara sudah mengatur yang mengesahkan perkawinan Islam adalah KUA.

Poligami yang dalam UU kita diizinkan (dengan syarat) membuat ‘Kawin Siri’ sering dipakai sebagai jembatan oleh laki-laki yang menginginkan poligami tapi tidak mampu  memenuhi syarat yang ditetapkan UU. Dalam hal ini, longgarnya kemudahan melakukan Kawin Siri telah membuat Kawin Siri menjadi marak dan dianggap wajar, dan itu  memudahkan laki-laki berpoligami tanpa melalui prosedur yang disyaratkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Banyak sekali poligami yang bertolak dari Kawin Siri. Banyak Kawin Siri yang dinyatakan sebagai poligami padahal tidak terbukti telah melakukan pernikahan poligami dengan proses dan aturan yang benar.

Apapun alasan orang melakukan ‘Kawin Siri’, apakah untuk mengelabui poligami yang harus mendapatkan izin istri, atau untuk penjajakan sebelum pernikahan, atau yang umum dikatakan supaya tidak dosa di mata Tuhan, 90 persen lebih kasus Kawin Siri menyisakan penderitaan bagi perempuan / isteri dan anak-anak yang dilahirkan. Padahal kalau kita melihat bagaimana Islam menggaris bawahi pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak dan sebaliknya melihat bagaimana Kawin Siri mengabaikan perlindungan itu, perdebatan tentang sah tidaknya ‘Kawin Siri’ di mata syariat, seharusnya sudah selesai.

Anak-anak yang lahir dari ‘Kawin Siri’ hanya akan menjadi anak-anak yang tidak bahagia, rendah diri dan frustrasi. Mereka tidak punya hak ekonomi dan soasial karena hak-haknya hanya diakui dari pihak ibu. Tidak punya status karena dalam pembuatan akta kelahiran, mereka hanya dicatat mengikuti nama ibu, karena syarat mendapatkan akta kelahiran di pencatatan sipil mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari negara. Bahkan banyak kasus dimana orang tua terpaksa membuat akta nikah palsu.  Membuat akta nikah palsu itu pelanggaran. Kalau syariat diperalat untuk meloloskan ‘Kawin Siri’, dalam konteks pelanggaran di atas, syariat yang mana yang masih dijunjung?

Kemandirian dan Pendidikan Perempuan.
Salah satu hal yang membuat “kawin Siri” meraja lela adalah lemahnya sikap kaum perempuan dan adanya dukungan keluarga. Lemahnya penolakan perempuan dalam hal ini diakibatkan faktor pendidikan yang rendah, kesadaran hukum yang kurang dan kondisi ekonimi yang lemah. Sebelum menikah perempuan sering tidak menimbang bahwa ‘Tidak adanya aturan yang mengikat dalam “Kawin Siri” membuat perkawinan model ini rentan perceraian dan bisa terjadi dengan semena-mena. Suami tidak perlu menghadapi pengadilan soal sah tidak nya perceraian karena Kawin Siri sendiri tidak tercatat dalam akta Negara. Hak isteri dan anak-anak untuk mendapat jaminan hidup atau gono-gini tidak akan ada karena Kawin Siri tidak mensyaratkan itu. Dan apabila suami / ayah meninggal dunia, anak dan isteri tidak dapat Hak waris

Untuk itu, berikut beberapa catatan dari saya:

  1. Mengajak masyarakat melihat Kawin Siri tidak dengan mata subyektif, tidak dengan egois dan semata untuk kepentingan dan kesenangan pribadi. Tapi melihatnya dari aspek sosiologi, psikologi, ekonomi. 
  2. Mengajak masyarakat bersikap jujur melihat pengaruh Kawin Siri terhadap lingkungan masyarakat, institusi keluarga dan pertumbukan anak-anak, serta melihat dengan kritis sistem perundang-undangan kita yang berkaitan dengan hubungan sosial ekonomi rumah tangga seperti hak gono-gini atau waris.
  3. Mengajak masyarakat menyadari pentingnya peran serta masyarakat dalam perencanaan kebijakan tentang Kawin Siri untuk tujuan lebih luas, tidak sebatas melindungi hati seorang isteri yang terluka, atau sebatas sejumlah anak yang kehilangan kegembiraan, tetapi untuk pembangunan lingkungan dan bangsa.
  4. Mengajak masyarakat melihat hubungan Kawin Siri dengan kemiskinan, dengan konstruksi sosial, dengan budaya, dan tentu saja agama, tapi bukan semata-mata tentang agama. Mengajak masyarakat  menyadari bahwa dampak Kawin Siri tidak hanya menyangkut individu pelaku Kawin Siri tetapi juga individu-individu dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat dan itu berdampak pada semua sector dalam kehidupan kita berbangsa.
  5. Mendorong Pemerintah meletakkan kebijakan menyangkut Kawin Siri sebagai persoalan bangsa, tidak semata urusan perempuan yang terluka. 
6.     Meminta semua pihak khususnya Pemerintah untuk menyadari betapa realitas bangsa kita sekarang ini, dengan kemiskinan yang terus meluas; perilaku menghamba pada uang mewabah; budaya korup sulit dibendung; suap di lembaga-lembaga penegak keadilan; Narkoba yang terus menghantui kehidupan setiap keluarga, adalah lahan empuk dimana Poligami berkembang sebagai kejahatan, sekaligus tempat dimana para korban Kawin Siri (yang terluka, yang kehilangan kepercayaan diri, yang kehilangan kegembiraan) bertarung untuk bertahan hidup di tengah masyarakat lain. Di tengah kekacauan hidup seburuk itulah nasib anak-anak bangsa ini, apakah mereka korban Kawin Siri atau tidak. kita pertaruhkan.

Jadi jangan kita beranggapan bahwa hubungan Negara dengan keluarga hanya sebatas sembako. Jangan menganggap kecil peran rumah tangga/keluarga dalam pembangunan bangsa. Jangan kita terjebak melihat urusan keluarga sebagai urusan privat. Dengan menempatkan rumah sebagai urusan privat, tanpa disadari rasa solidaritas dan gotong royong yang menjadi budaya dasar masayarakat Indonesia akan terus terkikis. Semua pihak, pemerintah, pers, intelektual, seniman/budayawan, ulama, harus menyadari orang-orang yang bergelut di luar sana, yang jadi pejabat, yang jadi wakil rakyat, yang jadi penegak hukum, dokter, guru, caleg-caleg, bagaimanapun adalah produk dari rumah. Produk dari sebuah  keluarga. Kualitas mereka, sehat tidaknya sikap dan cara berpikir mereka sangat tergantung pada sehat tidaknya rumah/keluarga dari mana mereka datang. Kegembiraan atau kesedihan mereka, kejujuran atau ketidak jujuran mereka, ikut menentukan baik-buruknya kualitas bangsa ini.

Kalau kita, terutama Pemerintah melihat dengan jernih dampak buruk Kawin Siri bagi masyarakat dan bangsa, maka Negara/Pemerintah wajib melarang tegas praktek Kawin Siri, tanpa perlu memandangnya sebagai bertentangan dengan Islam, karena Islam sendiri sesungguhnya membawa misi keadilan dan kemaslahatan bagi semua manusia. Di dalam Islam, kemaslahatan bukan semata kemaslahatan untuk laki-laki tapi tidak untuk perempuan; Kemaslahatan untuk suami tapi tidak untuk isteri; Kemaslahatan untuk yang kaya tapi tidak untuk yang papa. Itulah sesungguhnya inti agama yang semestinya diwujudkan dalam setiap sendi kehidupan manusia yang diatur dalam etika, adat istiadat, peraturan maupun undang-undang.


Jakarta – 30 Oktober 2009-10-29


Ratna Sarumpaet.

No comments:

Post a Comment