Usman Hamid / KontraS
Makalah dalam diskusi buku “Maluku Kobaran Cintaku” karya Ratna Sarumpaet, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 11 Maret 2011.
Sejak dulu, saya mengamati dan mengenal Ratna Sarumpaet sebagai seniman multi talenta. Ia tak saja menempatkan seni sebagai medium kebudayaan an sich, tapi juga berhasil “membunyikan” seni dalam dialog lintas pemahaman kita. Kemampuan Ratna untuk membaca politik kebudayaan Indonesia, sudah bisa kita nikmati dari sederet karyanya. Sebut saja judul-judul seperti Rubayat Umar Khayam, Dara Muning, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah, Pesta Terakhir, Terpasung, Marsinah Menggugat, Alia, Luka Serambi Mekkah, Anak-Anak Kegelapan dan yang terakhir Jamila & Sang Presiden.
Anak-anak muda seperti, Mey, Melky, Ali dan Ridwan inilah yang tak pernah tertampilkan dalam proses perdamaian di Maluku. Dan Ratna menampilkannya. Kosongnya potret mereka dalam potret Maluku selama konflik adalah sesuatu yang berulangkali terjadi dalam konflik di berbagai belahan dunia. Dalam berbagai inisiatif perdamaian di dunia. Selalu saja, yang kita lihat dan yang diperlihatkan pada kita, mereka yang berada dalam jajaran papan atas, elitis, dan parahnya, laki-laki yang dianggap memimpin kendali pada kelompok-kelompok kekerasan selama konflik kekerasan. Di Sudan, di Yugoslavia, di Kolombia, semua rekonsiliasi mengakhir permusuhan ditampakkan dalam sosok laki-laki. Semua pahlawan di Eropa dalam narasi sejarah bangsa-bangsa itu kebanyakan juga laki-laki. Lihat saja patung Napoleon Bonaparte di Perancis. Atau Winston Churchill di Inggris. Begitupula di Indonesia. Pangeran Diponegoro di depan Taman Suropati. Jenderal Sudirman dll. Berbeda dengan patung RA Kartini yang untuk melihatnya kita harus menelusuri jalan-jalan di Jawa Tengah, Blora dan Kendal. Itu pun jauh dari sarana transportasi umum. Begitulah sejarah selalu dan memang tak selalu, dikenal dalam narasi perang dan laki-laki. Orang lupa bahwa ‘violence begins in the minds of men”.
Sejak dulu, saya mengamati dan mengenal Ratna Sarumpaet sebagai seniman multi talenta. Ia tak saja menempatkan seni sebagai medium kebudayaan an sich, tapi juga berhasil “membunyikan” seni dalam dialog lintas pemahaman kita. Kemampuan Ratna untuk membaca politik kebudayaan Indonesia, sudah bisa kita nikmati dari sederet karyanya. Sebut saja judul-judul seperti Rubayat Umar Khayam, Dara Muning, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah, Pesta Terakhir, Terpasung, Marsinah Menggugat, Alia, Luka Serambi Mekkah, Anak-Anak Kegelapan dan yang terakhir Jamila & Sang Presiden.
Produktivitas kebudayaan ini adalah sebuah pembuktian, totalitas pikiran dan tindakan Ratna yang menegaskan bahwa dunia seni dan kebudayaan adalah dunia yang memiliki pertautan erat dengan kehidupan warga Indonesia sehari-hari. Dunia yang tidak terkotak-kotak, tidak tersegregasi, namun saling mengisi dan menghidupi. Melalui politik kebudayaan semacam inilah, mungkin kita bisa memahami makna keindonesiaan secara lebih jujur.
Bicara soal kejujuran, saya butuh waktu tersendiri untuk membaca karya setebal 511 halaman ini. Apalagi di tengah keriuhan kegiatan kawan-kawan aktivis yang selalu hadir silih berganti. Waktu ini digunakan untuk memutar memori personal saya –maupun memori kolektif kita- sebagai warga Indonesia.
Buku tebal berjudul “Maluku, Kobaran Cintaku” yang ditulis Ratna Sarumpaet ini dipersembahkan buat Munir dan semua korban kekerasan yang dicintai Munir sampai akhir hayatnya. Barangkali untuk alasan itu saya mendapat kesempatan baik dalam diskusi malam ini.
Kesan sekilas saya pertama-tama adalah pada warna buku. Buku bersambul biru hendak memberi pesan kesejukan. Namun dalam suasana sekarang, tepatnya suasana politik sekarang, sampul biru bisa memberi kesan bahwa penulisnya juga menarik bagi Koalisi Partai Demokrat yang sekarang kesepian. Biar suasana politik itu terhubung-hubungkan, maka mungkin begitulah kekuasaan. Kerapkali dalam kesepian. Kesepian bukan tanpa cinta. Itu ada, tapi lebih merupakan cinta pada kekuasaan, love of power, bukan the power of love. Kata Jimi Hendrix, kita akan mengenal tentang perdamaian, jika kita mampu berpegang pada power of love, bukan pada love of power. “When the power of love overcomes the love of power, the world will know peace”. Atau dalam bahasa Malukunya, sumpah setia demi persaudaraan. Pela dan Gandong.
Kesan selanjutnya ada pada gaya atau tuturan isinya. Tuturan ini tidak meluap-luap tapi juga tak sekadarnya. Saya punya kesan berbeda dengan penulisnya. Barangkali karena saya lebih banyak mengingatnya saat berorasi, protes-protes ketidakadilan di era Orde Baru atau setelahnya. Atau kesan keras dalam gugatan Ratna atas problem pembunuhan politik terhadap Marsinah, seorang perempuan buruh yang gigih di Sidoarjo, Jawa Timur. Akibatnya dilarang di mana-mana. Tapi di sini, Ratna menulis dengan hasrat, yang dijelujurinya melalui konsistensi kedetilan gaya bertutur, dengan campuran. Sebagian bergaya jurnalis seperti layaknya Anna Politkovskaya dalam Russian Diary. Lugas, detil dan jauh dari beban dan rasa takut saat menulis tentang keterlibatan kekuasaan dalam kekerasan politik. Sebagian lagi bertutur dengan gaya sastra seperti layaknya seorang novelis atau sastrawan.
Tidak hanya itu, Ratna pun piawai dalam merangkai plot demi plot yang tidak sembarangan ia bangun sebagai sisipan dramaturgi kisah hidup Muslim dan Kristiani di Maluku; dari Usui, bagian Ulanga, bagian Sagu, yang merupakan bagian dari Maluku; hingga beberapa nama-nama penting seperti Pendeta Bram Soplanit, pendeta paling disegani di Sagu sampai dengan Tuang Guru Abu Bakar. Dua tokoh agama yang bekerja keras menjaga wilayahnya dengan mendatangi semua tokoh, termasuk bapa-raja. Di balik itu adalah energi anak-anak muda yang dengan semangatnya menjaga dan menumbuhkan cinta di tengah suasana benci dan permusuhan. Cinta mereka menembus sekat, agama dan keturunan. Kesan ini yang muncul ketika saya mengawali buku Maluku. Meski belakangan, cinta itu akhirnya berhenti dalam kebimbangan dan kegalauan. Berakhir penuh misteri.
Memang menjadi melankoli saat kisah cinta mereka berakhir. Tetapi kisah sebuah kepulauan yang terluka dan ceritera ini mampu menyentuh dalam kisah persahabatan sekaligus pertalian cinta. Semua menjadi indah, menyentuh hati sekaligus melankoli.
Usman Hamid (bicara) |
Konflik Maluku adalah konflik yang tak terperikan yang pernah terjadi pasca-Reformasi 1998. Masa di mana ketika kita tengah berupaya bangkit, menggelorakan ide-ide genial dan harapan yang lebih baik untuk masa depan Indonesia. Konflik ini hadir dalam luapan negatif berskala masif. Elemen permusuhan, kebencian, teror, intimidasi, syak wasangka adalah daftar watak terburuk yang dimiliki manusia. Sayangnya, watak-watak terburuk itu muncul dalam konflik Maluku. Konflik yang mengalahkan bahasa kemanusiaan: perdamaian dan hak asasi manusia.
Anak-anak muda yang dipotret dalam karya Ratna adalah simbol gerakan perubahan di Indonesia. Anak-anak muda ini terkepung oleh dimensi kepentingan konflik yang menggerus hati nurani dan rasa cinta mereka. Jebakan dan dilema ini bahkan hadir di lingkungan terdekat mereka. Mereka dan Maluku dikepung oleh alam kebencian paling primitif dalam sejarah peradaban manusia: kebencian suku dan agama. Dan sayangnya, hingga kini kita masih merasakan watak-watak semacam itu, khususnya perlindungan kaum minoritas beragama dan berkeyakinan yang kian hari kian memperihatinkan.
Dalam narasi ini, Ratna mencoba memotret aroma ketakutan yang hadir di segala penjuru saat kekerasan mendera Maluku. Ketakutan melahirkan kesangsian untuk melanjutkan hidup dan hidup bersama. Ketakutan itu yang dilawan oleh Mey, Melky, Ridwan, Ahmad, Pieter dan Ali. Saat Kapolda meminta pembatalan turnamen yang dipersiapkan matang, Ali menolak. Kata Ali, “Buat saya, ancaman terburuk sekarang ini adalah takut pada ancaman mereka. Kalau mereka mau membubarkan juga, silahkan ! Biar dunia menyaksikan seberapa besar nyali mereka melukai anak-anak muda di Maluku ini.
Ketakutan itu merampas kebebasan dengan segenap pemaknaannya yang amat dibutuhkan manusia. Narasi ini mengingatkan dan meyakinkan satu hal kepada saya, bahwa kekerasan adalah bahasa politik yang kerap digunakan oleh pihak yang memiliki kepentingan kekuasaan. Kekerasan yang digunakan untuk menunggalkan identitas pada setiap manusia Indonesia. Kekerasan yang mendegradasikan makna identitas keindonesiaan kita, yang lalu hadir dalam ruang biner, menjadi “aku dan kamu” dalam dominasi “keakuan”. Sang liyan.
Pendek kata, kekerasan telah beranak pinak, tumbuh subur dalam 12 tahun terakhir ini. Mengisi ruang publik, privat dan merendahkan naluri, nurani dan akal sehat manusia, di saat kita juga sibuk merayakan setiap jengkal kebebasan dan perbedaan yang seharusnya kita lihat sebagai kekayaan sebagai karunia Tuhan. Inikah harga dari relasi multikultural yang telah kita bangun berpuluh-puluh tahun sebagai warga Indonesia? Ironi memang.
Dalam naskah novel ini, Ratna juga seperti seorang pengamat Maluku, memberi kesan kuat bahwa ia ikut membaca berbagai laporan investigasi selama era konflik Maluku dan memverifikasinya sendiri. Novel ini bukan lagi fiksi. Tapi fakta. Seperti kejadian yang dikutipnya yang terjadi di Batu Merah dan di Poka. Salah satunya tentang kejadian di wilayah AY Patti, pusat kota Ambon. Saya membandingkannya dengan laporan Kontras saat masa Munir. Sebagai berikut.
(TIDAK DIMUAT KARENA ALASAN TEKNIS. BISA DICEK DI KontraS)
Daftar di atas hanya sedikit daftar dari sekian banyak, bahkan tujuh ribuan-tulis Ratna- yang tewas dalam kekerasan berdarah di Maluku dalam dimensi sektarian yang sempit.
“Harus ada cara menjaga anak-anak muda Maluku agar tidak terseret” kata sosok Ali di halaman 52. Ini ungkapan lugas dari Ali saat mengalihkan ungkapan Melky tentang laut sebagai sumber kehidupan sekaligus dunia petualangan yang indah tapi juga merupakan salah satu sumber utama yang menjadi akar kepentingan aktor konflik. “Saya, kata Ali, tak menghindar. Pada akhirnya kita akan mempersoalkan itu dan untuk itu kita butuh kekuatan. Kita butuh suara anak-anak muda. Buadya patriarki membuat generasi muda Maluku cenderung menjadi pengikut, pengikut orang tua atau kepala adat. Melawan budaya seperti itu di tengah permusuhan yang begini panas, kita akan seperti bertengkar dengan gunung...”
Anda bayangkan, suasana saat itu seperti tergambar dalam laporan Kontras. Ada selebaran-selebaran gelap yang bernada adu domba. Misalnya, pada 2 Februari 1999, suatu selebaran menyatakan pertentangan. Di kalangan Islam beredar isu adanya Kristenisasi, di kalangan Kristen beredar isu akan adanya serangan. Lima orang menteri termasuk Menhankam Jenderal Wiranto tak mampu atasi keadaan.
Kejanggalan lain, ada pemindahan dan penarikan pos penjagaan Kariu oleh pihak keamanan dan berlanjut dengan pembakaran. Lalu 13 Januari 1999 terjadi peristiwa serangan yang juga berawal dari suatu kejanggalan dengan dicabutnya sebuah pos penjagaan di desa Kariu oleh seorang Komandan Regu Kostrad bernama S, lalu dipindahkan ke dusun Nanaca. Sebelum itu, terjadi keanehan dengan dilarangnya warga Kariu masuk ke daerah Kailolo. Ini diketahui semua oleh aparat keamanan. Tanggal 14 Februari , sekitar pukul 03.00 WITA listrik di desa Kariu padam dan sekitar pukul 03.00 WITA ada rumah masyarakat Kariu dibakar. Posisi rumah yang pertama di bakar itu ada di Pilou dan Kariu. Sekitar pukul 06.00 WITA desa Kariu diserang oleh kelompok Islam dari desa Kariu, Ori, dan delapan desa Islam di sekitarnya. Pada saat penyerangan, pihak aparat yang dipimpin oleh Danru S ikut serta dengan mencopot seragam dan menggantikannya dengan pakaian sipil dengan sorban putih. Pada senjata mereka pun diikat dengan kain putih. Sekitar jam 08.00 tanggal 14 Februari, masyarakat Hulaliu melihat adanya asap kebakaran di desa Kariu dan mereka bermaksud datang untuk menolong. Namun di perbatasan desa Ori mereka dihadang oleh pasukan dari Kostrad yang telah membentuk formasi “L� untuk mengepung dan mengembalikan mereka ke Halaliu. Hasil dari peristiwa ini, pukul 15.00 WITA gereja GPM dibakar massa, padahal gereja ini mereka titipkan kepada aparat keamanan dalam keadaan masih utuh. Di desa Kariu 2 gereja juga habis terbakar.
Laporan yang diterima KontraS saat itu menyiratkan gambaran yang aneh mengenai korban kerusuhan, seperti yang terjadi dalam peristiwa Waruku di desa Hulaliu, dari 12 korban yang meninggal 10 diantaranya diakibatkan oleh luka tembak termasuk sejumlah permpuan, 1 orang luka panah dan satu orang terbakar. Begitupun jenis luka, dari 34 korban luka, 24 diantaranya adalah luka tembak, 3 luka akibat bom, 4 akibat panah dan akibat potong. Hingga laporan itu ditulis, kota Ambon dalam keadaan yang mencekam. Bahkan pada hari laporan itu dilansir, 18 Februari pukul 06.00 WITA tanpa adanya kerusuhan telah terjadi penembakan oleh aparat Kostrad di Kudamati, korban masih dirawat.
Apa yang kita petik dari cerita fakta tentang konflik Maluku? Praktik pembatasan ruang-ruang aktualisasi manusia dalam novel ini adalah praktik yang mengkerdilkan esensi dari politik kewargaan itu sendiri. Ratna menghadirkan pertarungan-pertarungan ini kepada kita. Pertarungan-pertarungan yang menunjukkan eksistensi ketidakadilan, ketidakberpihakan, tercerabutnya kultur lokal, lunturnya perspektif HAM berbasis nilai-nilai komunal hingga kembali mempertanyaan kemampuan negara untuk meneguhkan komitmennya pada nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.
Karya Ratna Sarumpaet ini juga mengingatkan saya dan kita semua, bahwa setiap individu Indonesia harus sadar betul hak dan ruang partisipasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemaknaan warga dalam terma politik kewargaan yang telah saya singgung di atas adalah satu hal penting yang tetap harus diingat oleh kita semua. Hal ini akan selalu menyadarkan kita, bahwa rakyat tidak akan pernah terpisah dari substansi riil politik, yakni politik yang mampu menjadi jembatan untuk memperbaiki harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan kita.
Kesan terakhir adalah ketika saya menggenapi ke-511 halaman dari buku ini. Betapa ingatan, trauma dan luka akibat kekerasan nyaris mustahil untuk dilupakan. Bahkan Mey mengeluhkan logika politik pembagian kekuasaan yang tetap tak bisa mengembalikan keharmonian hidup di masa lalu. Hampir tak mungkin kenangan bahagia pada kehidupan damai untuk dikembalikan. Aisyah menjadi sosok yang menjauh dari kenyataan di hari-hari justru ketika konflik telah berakhir. Di hari-hari ketika Mey hendak ucapkan terima kasih atas penyelamatan Aisyah pada jiwanya. Begitu traumatik ingatan luka itu pada anak-anak seperti Ucup dan Lala. Ali menjadi begitu merasa bersalah terhadap semua kebimbangan dan kegalauannya dalam mencintai Mey. Begitu kelu saat kata maaf yang ia ucap telah menitikkan air mata Mey yang mencintainya.
“Tanah airku, tidak kulupakan. Kan kukenang, selama hidupku. Biarpun aku, pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu. Tanahku yang kucintai, engkau kuhargai”. Lagu itu menjadi kenangan bagi Aisyah yang kerap didendangkan. Ia menenggelamkan suasana suka cita saat Mey mengajak semua “Manari, baku bae! Bargambira kita baku bae! Berlupa, baku bae! Badan bagoyang, kita baku bae! Akhirnya, semua jadi debu. Yang terasa bercahaya tetap ada. Yaitu cinta. Cinta dapat membuat seseorang bertindak di luar yang kita perkirakan, mengarahkan mereka menbatasi kendala yang terberat dalam hidup; ketakutan. Cinta itulah yang akhirnya menang mengatasi kematian dan kehancuran.
Saya percaya kita masih memiliki waktu yang panjang untuk terus memperjuangkan dan mendialogkan politik kewargaan Indonesia. Politik kewargaan Sumpah Pemuda seperti yang dibacakan dalam pembukaan turnamen oleh Berta dan Dahlan, dua orang anak yang kedua orang tuanya terbunuh dalam peristiwa, waktu dan tempat yang berbeda. Pilihan ini adalah pilihan yang bijak untuk melihat perspektif yang lebih luas. Sehingga kita, tidak lagi mudah menegasikan yang lain berdasarkan label golongan agama, keyakinan, dan kepentingan kelompok bahkan menggunakan dalil mayoritas sebagai pembenaran-pembenaran semu.
Usman Hamid, Cibubur, 11 Maret 2011
No comments:
Post a Comment